Alur Pelayaran Dan Jermal, Kewenangan Pemerintah Pusat

Herty Herawati. M.M.A., Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, saat di temui di ruang kerjanya Senin, 07/03/2022 (Foto Novi)

Silabusnews.com, Kubu Raya – Polemik Ganti Rugi Bagan ( Jermal ) serta Penetapan Alur Pelayaran Padang Tikar – Batu Ampar – Kabupaten Kubu Raya masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten di Kalimantan Barat.

Pasalnya dengan tidak ditetapkan aturan titik kordinat alur Lampu Muara, serta Perpanjangan Izin Usaha Bagan oleh pemerintah daerah, maka pihak nelayan pemilik jermal merasa kecewa, karena jermal yang mereka miliki di katakan ilegal, dan ketika ada buktipun jermal milik nelayan di tabrak tongkang (ponton ) mereka susah untuk mendapatkan ganti rugi.

Mengutip berita sebelumnya bahwa pada bulan April dan November 2021 dan awal 2022 ini, bahwa sudah ada tiga jermal milik nelayan pesisir Muara Padang Tikar di tabrak tagboat yang sedang menggandeng tongkang, hingga kasus tersebut masuk ke ruang kantor DPRD Kabupaten Kubu, untuk mencari solusi terkait ganti rugi maupun Ketetapan Alur Pelayaran Padang Tikar – Kecamatan Batu Ampar.

Herty Herawati. M.M.A., Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat saat di temui di ruang kerjanya Senin, 7 aret 2022)mengatakan, bahwa Muara Kubu, Muara Padang Tikar Batu Ampar, setelah sungai ketemu laut 1 mil sampai 2 mil banyak jermal terganggu, khususnya di kalimantan Barat semakin tumbuh kegiatan perekonimian terutama di bidang pertambangan bauksit, yang di mana untuk eksport nya melewati jalur sungai yang asalnya pertambangan itu sekitar sanggau ke atas, mereka melewati sungai menuju ke jalur laut.

“Sebelum banyaknya arus ponton kegiatan eksport itu, dimana dahulunya kegiatan jermal memang sudah ada turun temurun, bagi nelayan utamanya masyarakat lokal disitu sebagai salah satu sumber pendapatan dan mereka tidak terganggu oleh adanya ponton, dan dahulu nya alhamdulillah mereka sejahtera dari kehidupan jermal itu,” ujarnya

Nah” Dengan kegiatan jermal yang banyak ini terjadilah potensi konflik, karena bagaimanapun mereka harus berbagi ruang antara alur ponton dengan jermal yang ditancap”

“Kita sudah punya Perda Rezon tahun 2019 yang mengatur tentang alokasi laut, kalau di darat itu seperti RT dan RW, mana zona konservasi, mana zona pemanfaatan, mana zona alur itu sudah terpetakan di dalam Perda laut itu, Jadi walaupun kita memandang nya tidak ada batas-batas ,” bebernya.

“Sebenarnya ada batas-batas nya, namun kebetulan juga alur ponton ini dilaut, melewati laut konservasi inilah yang harus kita atur, Jadi masalah ini sudah 2 tahun berlalu, sudah menahun dan masyarakat itu sudah mengadu kemana-mana,” lanjutnya.

Terakhir saya merespon pengaduan mereka ke DPRD Kabupaten Kubu Raya, dari dengar pendapat DPRD Kubu Raya saya merespon dan mensurvey ke alur pelayaran ponton itu, dan saya juga menyelusuri alur sungai sampai ke lokasi yang berpotensi konflik itu.

“Sebenarnya ketika saya mendengar cerita dari awal kalau ada jermal yang ditabrak dari pihak perusahaan pemilik ponton itu memberikan ganti rugi, karena bagaimanapun juga mereka mera empati terhadap nelayan kecil,” terangnya

“Untuk itu kita perlu pengaturan, jermalnya, terkait izin dan juga adanya alur ponton,” ungkapnya.

“Semuanya itu belum di tetapkan, jadi sebenarnya keduanya juga belum ada status hukum, itulah yang menjadi akar masalahnya, semuanya tergantung kita melihat, apakah dua-dua nya sama-sama salah, bisa juga dua-dua nya sama-sama benar” terangnya

Lebih lanjut Herty mengatakan, nemang sekarang para penyidik Aparat Penegak Hukum (APH ) juga banyak membantu kita untuk menyelesaikan konflik-konflik, walaupun keduan’nya belum punya status hukum artinya kedua usaha itu ada di dalam kondisi kekosongan hukum.

“Para penyidik APH juga membantu memfasilitasi untuk sepakat, untuk bagai mana pihak perusahaan pemilik ponton bisa mengganti, merekalah yang mencarikan jalan damainya,” rincinya

“Tapi terkadang semua itu tidak mulus juga, terkadang sudah ada kesepakatan dari pihak pemilik ponton’ nya, menurut pengakuan pemilik jermal, mereka pula yang ingkar janji dan tidak mengganti dengan alasan pemilik jermal juga tidak berizin, sekarang di kembalikan kepada nelayan, pemilik jermal juga mengatakan kepada pemilik perusahaan Ponton alurnya juga belum di tetapkan sama pemerintah,

Kemarin saya rapat disini dan memanggil semua stakeholder yang berkepentingan dengan urusan ini, rapat yang judulnya tahapan penyelesaian konflik, Dan fokus saya bukan untuk menyelesaikan yang sedang berjalan ini, yakni masalah ganti rugi atau apapun.

“Saya fokus bagaimana mendorong keduanya punya status hukum, supaya kami selaku pemerintah jadi pihak ketiga untuk mencarikan solusi,” ujarnya

“Sekarang kalau tidak ada status hukum keduanya pemerintah juga bingung mau menetapkan mana yang salah dan mana yang benar, inilah yang mau saya tata, Karena Kenapa” seolah-olah saya itu lambat memproses izin jermal itu, semata-mata sangat dinamis sekali peraturan perundangan di negara kita” kata Herty

Herty juga mengatakan, pada awalnya kewenangan untuk izin lokasi jermal itu kewenangan provinsi., namun pada tahun kemarin setelah saya sosialisasi di Batu Ampar, kami sudah semangat mau membuatkan perizinan.

“Namun dengan  adanya undang-undang cipta kerja,  yang menyatakan bahwa semua perizinan yang di kawasan konservasi laut itu menjadi kewenangan pusat,” kesalnya.

“Jadi saya dengan ketua DPRD Kabupaten Kubu Raya berdiam diri dulu dan kami senantiasa  berusaha bagaimana untuk mengimplementasikan aturan ini, kalau bukan kewenangan daerah dalam hal ini provinsi, karena kita tidak bisa mengeluarkan suatu izin atau produk hukum yang bukan kewenangan,” paparnya.

Terakhir sebelum rapat di Dinas Kelautan Dan Perikanan (DKP ) saya konfirmasi ke pusat, memang itu kewenangan pusat, dan saya berulang kali meminta ketegasan, jangan sampai ada zona abu-abu kewenangan, dan itu sudah di tetapkan bahwa itu kewenangan pusat, hanya persiapan tentu di lakukan oleh daerah, karena bagaimana pun juga masyarakat itu milik kabupaten, pelaku-pelaku usaha jermal itu milik kabupaten dan provinsi yang mempunyai lautnya,” lanjutnya

Dengan terjadi nya konflik ini bukannya karena lemah nya stakeholder, karena pas aturan kita itu sangat dinamis begitu ada undang-undang Cipta Kerja, saya yakin semua stake holder itu menunda semua kegiatan perizinan karena takut, takut salah kewenangan, jangan sampai kita nanti di keluarkan izin provinsi, ternyata kewenangan pusat, kita bisa repot kalau begitu, dan busa berakibat fatal jika kita mengeluarkan izin di luar kewenangan kita “pungkasnya.

Novi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.