Ketua BUMDes Beli Saham Pribadi dari Dana Desa: Pelanggaran yang Tak Bisa Ditoleransi 

FX. Hastowo Broto Laksito, Dosen Fakultas Hukum UNISRI.

Kasus seorang Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang menggunakan sekitar Rp. 180 juta dana desa untuk membeli saham atas nama pribadi kembali menguatkan keresahan publik mengenai rentannya tata kelola keuangan desa.

BUMDes dibentuk untuk memperkuat perekonomian lokal dan menjadi motor pertumbuhan desa, bukan menjadi celah untuk memperkaya diri para pengurusnya. Ketika dana yang seharusnya menjadi modal usaha desa justru dialihkan untuk kepentingan pribadi, tindakan tersebut bukan hanya mencederai kepercayaan warga, tetapi juga menyalahi kewajiban hukum yang melekat pada jabatan publik tingkat desa. Fenomena seperti ini tidak boleh dianggap sebagai persoalan sepele, karena setiap rupiah dari dana desa merupakan bagian dari keuangan negara yang diatur secara ketat dan wajib dipertanggungjawabkan.

Secara hukum, dana yang dikelola BUMDes tidak dapat dipisahkan dari konsep keuangan negara. Undang-Undang Desa secara tegas menyatakan bahwa kekayaan desa, termasuk modal BUMDes, merupakan bagian dari aset desa yang tunduk pada mekanisme pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, ketika seorang Ketua BUMDes menggunakan dana Rp180 juta untuk membeli saham pribadi, ia telah melakukan tindakan yang jelas melampaui kewenangannya. Pembelaan berupa dalih “dipinjam sementara” tidak memiliki dasar yuridis karena penggunaan dana desa harus melalui mekanisme perencanaan, persetujuan, dan pelaporan yang sah. Ketidakterlibatan musyawarah desa dan tidak adanya dokumen resmi semakin mempertegas bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas publik.

Dari perspektif hukum pidana, perbuatan tersebut berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Dana desa adalah bagian dari keuangan negara, sehingga penyalahgunaannya dapat dijerat dengan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya terkait penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara dan tindakan memperkaya diri sendiri. Membeli saham pribadi dengan dana BUMDes jelas menunjukkan adanya niat mendapatkan keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan jabatan. Apabila unsur memperkaya diri, adanya perbuatan melawan hukum, dan timbulnya kerugian keuangan negara dapat dibuktikan, maka pelaku dapat dikenakan pidana korupsi dengan ancaman hukuman berat, termasuk pengembalian kerugian negara sesuai kerangka perhitungan auditor negara.

Namun persoalan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan struktural pengelolaan BUMDes itu sendiri. Banyak BUMDes berjalan tanpa standar audit internal, tanpa pembukuan yang tertib, dan minim pengawasan dari pemerintah desa maupun badan permusyawaratan desa. Ketiadaan sistem akuntabilitas yang kuat membuka ruang bagi pengurus untuk memperlakukan dana desa seolah merupakan rekening pribadi. Masih ada pula asumsi keliru di masyarakat bahwa dana desa hanya sebatas “uang desa” dan bukan bagian dari keuangan negara. Pemahaman ini keliru secara hukum dan berpotensi menimbulkan praktik koruptif yang semakin sulit dikendalikan jika dibiarkan.

Untuk mencegah kasus serupa terulang, reformasi tata kelola BUMDes menjadi kebutuhan mendesak. Digitalisasi pembukuan, kewajiban audit berkala, peningkatan kapasitas manajerial pengurus, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam pengawasan menjadi langkah konkret yang perlu ditempuh. Transparansi harus menjadi budaya, bukan sekadar formalitas. Namun yang paling penting, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa kompromi. Jika pelanggaran seperti penyalahgunaan Rp180 juta ini diselesaikan hanya dengan pengembalian dana tanpa proses hukum, maka tidak akan ada efek jera dan praktik serupa akan terus berulang.

Kasus penggunaan dana BUMDes untuk membeli saham pribadi bukanlah sekadar kesalahan individu, tetapi menandakan adanya masalah mendalam dalam integritas pengelolaan keuangan desa. Desa telah diberi kepercayaan besar untuk mengatur dan mengelola anggarannya sendiri, dan kepercayaan ini harus dibalas dengan tata kelola yang bersih dan transparan. BUMDes adalah instrumen untuk menyejahterakan warga desa, bukan sarana memperkaya diri para pengurusnya. Integritas adalah fondasi yang menentukan apakah desa bisa maju secara mandiri atau justru kembali terjebak dalam lingkaran penyalahgunaan wewenang. Kasus ini harus menjadi peringatan keras bahwa pembangunan desa hanya dapat berjalan jika keuangan desa dikelola dengan disiplin hukum dan moral yang tinggi.

 Penulis: [FX. Hastowo Broto Laksito], dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses