Kendaraan Listrik: Peluang Besar Sekaligus Tantangan yang Tidak Kecil

Oleh: FX. Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta.

Indonesia kini memasuki era baru dengan hadirnya kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang semakin populer di kalangan masyarakat. Pemerintah gencar mendorong transisi energi ramah lingkungan melalui berbagai insentif, mulai dari subsidi pajak, keringanan bea masuk, hingga pembangunan infrastruktur pengisian daya. Namun, di balik optimisme itu, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana kepastian hukum mampu menopang perkembangan kendaraan listrik di Indonesia?

Dari perspektif hukum, keberadaan kendaraan listrik terkait langsung dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta regulasi turunan terkait energi dan lingkungan hidup. Regulasi ini harus mampu menjawab isu keamanan kendaraan, standar produksi, hingga perlindungan konsumen dalam menggunakan EV. Tanpa kepastian hukum yang kuat, perkembangan kendaraan listrik bisa terhambat oleh persoalan teknis maupun sengketa hukum.

Isu pertama adalah standar keamanan dan sertifikasi. Kendaraan listrik membutuhkan sistem baterai bertegangan tinggi yang berpotensi menimbulkan bahaya kebakaran jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, perlu ada standar nasional dan mekanisme sertifikasi yang jelas agar setiap kendaraan listrik yang beredar aman digunakan. Tanpa standar yang ketat, konsumen bisa menjadi korban dari produk yang tidak layak jalan.

Isu kedua adalah infrastruktur pengisian daya (charging station). Saat ini, jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) masih sangat terbatas. Regulasi mengenai penentuan tarif, izin usaha, dan perlindungan konsumen atas layanan pengisian daya masih memerlukan penguatan. Jika aspek hukum ini tidak diatur secara transparan, konsumen bisa dirugikan oleh tarif yang tidak wajar atau layanan yang tidak memenuhi standar.

Selain itu, terdapat pula tantangan pengelolaan limbah baterai. Baterai kendaraan listrik mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini, regulasi lingkungan hidup harus dipertegas agar produsen dan konsumen memiliki tanggung jawab hukum dalam pengelolaan limbah. Tanpa itu, kendaraan listrik bisa menimbulkan masalah baru yang justru bertolak belakang dengan tujuan ramah lingkungan.

Dari sisi konsumen, perlindungan hukum harus diberikan tidak hanya dalam bentuk garansi produk, tetapi juga kepastian layanan purna jual. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mewajibkan produsen memberikan informasi yang benar, jujur, dan jelas terkait daya tahan baterai, biaya perawatan, serta risiko penggunaan kendaraan listrik. Ketidaktransparanan informasi berpotensi menimbulkan sengketa hukum yang merugikan konsumen.

Era kendaraan listrik di Indonesia membawa peluang besar sekaligus tantangan hukum yang kompleks. Regulasi harus diperkuat agar tidak hanya mendukung transisi energi, tetapi juga menjamin keselamatan, keadilan, dan perlindungan konsumen. Tanpa kepastian hukum yang memadai, program kendaraan listrik bisa berubah menjadi masalah baru. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, produsen, konsumen, dan aparat penegak hukum menjadi kunci dalam memastikan era kendaraan listrik berjalan sesuai prinsip negara hukum dan keberlanjutan lingkungan.

Penulis:  adalah dosen fakultas hukum di Universitas Slamet Riyadi dan aktif dalam penulisan isu-isu kebijakan public, ekonomi, dan teknologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses